Our focus

Our focus

Di seluruh negeri, berbagai kelompok masyarakat telah mempraktekkan bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat selama beberapa abad. Di propinsi Kalaimantan Barat, komunitas Dayak telah menanam pohon di dalam pekarangan rumah mereka, melakukan pengayaan hutan dengan menanam pohon yang baru dan secara sistematis menebangnya secara lestari. Di Sumatra Selatan, masyarakat Krui secara tradisional telah mengelola ribuan hektar hutan untuk sebagai kebun untuk buah dan biji pala, merica dan kayu manis.

 

Pada tahun 1966 tatkala Suharto memegang tampuk kekuasaan, ia melihat manfaat ekonomi dari hutan bagi kepentingan rezimnya. Fase industri kehutanan yang telah dimulai sejak penjajah Belanda dengan cepat diperluas pada era kekuasaannya. Ia menyatakan bahwa seluruh kawasan hutan adalah milik negara melalui Undang-undang Pokok Kehutanan 1967. Dari sana, ia memberikan hak konsesi yang sangat luas kepada perusahaan penebangan kayu dan perkebunan. Suharto juga secara sistematis membatasi kepemilikan dan hak masyarakat lokal yang sudah mengelola sumber daya hutan selama beberapa generasi, dengan alasan bahwa merekalah yang telah menjadi penyebab utama dari kerusakan hutan.

 

Kebangkitan Kehutanan Masyarakat

Taktik Suharto's telah meningkatkan kekayaan negara, namun demikian industry kehutanan dan pembalakan hutan yang tidak terkendali telah menyebabkan kerusakan hutan yang luas dan banyak konflik kehutanan.  Pmerintah tidak dapat mengabaikan atas kehilangan lebih dari 50 juta hektar hutan antara 1966 and 1982 — berkurangnya 35% dari tutupan hutan nasional.

Menanggapi hal itu, negara mengambil langkah awal ke arah bentuk pengelolaan hutan yang lebih bersifat sosial, dengan tetap mempertahankan penguasaan kawasan hutan.  Didukung oleh keputusan Menteri Kehutanan pada tahun 1991 dan 1995, program Pengembangan Masyarakat mengharuskan pemegang konsesi untuk mendukung pengembangan social ekonomi masyarakat di sekitar konsesi,  seperti pembangunan sekolah, atau tempat ibadah. Bantuan international juga mendukung experimentasi Kehutanan Masyarakat di beberapa pilot proyek. 

Pada 1995, masih dengan pergulatan kekerasan konflik kehutanan dan kerusakan hutan, pemerintah menyetujui program resmi yang diinisiasi pemerintah melalui perhutanan sosial yang pertama, di mana masyarakat diperbolehkan  untuk menyewa lahan hutan selama 25 tahun. Walaupun program ini merupakan strategi menghutankan kembali kawasan hutan rusak dengan melibatkan masyarakat, pendekatan  ini menjadi langkah awal memperbaiki akses masyarakat setempat pada sumberdaya hutan, misalnya akses masyarakat kepada hasil hutan non kayu. 

 

Perkembangan terkini

Pada tahun 1998 Suharto turun dari kekuasaannya. Setahun setelah itu, pemerintahan yang baru merevisi Undang-Undang Pokok Kehutanan, dengan memberikan desa-desa hutan akses yang sama untuk menggunakan dan mengelola hutan negara. Walaupun negara tetap mempertahankan kepemilikan lahan hutan, revisi ini memebrikan dasar hokum bagi banyak bentuk pengeloaan perhutanan social yang sebelumnya telah mengakar.

Seperti keberagaman sejarah praktek hutan oleh masyarakat di negara ini,  berbagai bentuk Perhutanan Social dan Kehutanan Masyarakat  sekarang ini ada dan berkembang di Indonesia. Delapan di antaranya disponsori oleh pemerintah dan didukung dengan kebijakan. Dua bentuk yang lebih popular dan diminati masyarakat di antaranya adalah Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa:

 

  • Hutan Kemasyarakatan (HKm) memberikan kelompok tani 35 tahun hak untuk mengelola hutan produksi atau hutan lindung dan memanen hasil hutan..
  • Hutan Desa (HD) membolehkan lembaga desa untuk mendapatkan 35 tahun hak untuk mengelola dan melindungi hutan negara yang tidak dibebani hak kepada pihak manapun. Pada January 2009, Hutan Desa di Bantaeng, Sulawesi Selatan, menjadi Hutan Desa pertama yang didukung RECOFTC yang turut membuka jalan bagi perluasan Kehutanan Masyarakat di seluruh Indonesia. 

Masyarakat Indonesia mempraktekkan dua bentuk hutan komunal yaitu: Hutan Adat dan Sistem Hutan Kerakyatan. Dua bentuk pengelolaan ini tidak ada kerangka kebijakan, namun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendukung mereka dengan kepercayaan bahwa sistem yang diinisiasi oleh masyarakat sendiri akan lebih dekat dengan kebutuhan pengguna hutan daripada sistem yang dikembangkan oleh pemerintah.